Cerita Anak
Anjar
Pahlawan Cilik
Oleh
Hera Sujiman Gusmayanti
Azan
Subuh baru selesai berkumandang tapi Anjar sudah bangun. Bukan ibu atau bapak
yang membangunkannya. Jam weker pemberian kakek tahun kemarinlah yang
memboyongnya dari alam mimpi ke dunia nyata. Perlahan Anjar duduk dan mematikan
jam weker yang mengeluarkan bunyi ayam berkokok. Dengan malas ia mengucek
matanya yang terasa lengket. Setelah itu Anjar hanya duduk diam seperti sedang
meresapi mengapa ia bangun sepagi ini di hari Minggu. Seharusnya ia bisa bangun
agak siang.
Seakan
mendapatkan alasan penting akan sikapnya, Anjar segera turun dari tempat tidur
kayu yang ia gunakan setiap hari sejak ia diharuskan untuk tidur sendiri. Anjar
menuju dapur tempat ibu memasak kue. Begitu mamasuki dapur, tampak ibu sedang menyusun
kue apem berwarna merah muda yang baru saja diangkat dari panci pengukus.
Melihat Anjar yang sudah terbangun jam segini ibu tersenyum maklum.
“Jadi
iku bapak ke pasar?” tanya ibu kepada putra bungsunya.
Anjar
mengangguk dengan semangat sambil menguap lebar.
“Kalau
begitu lekas mandi dan shalat Subuh lalu sarapan,” perintah ibu lembut.
Setengah jam kemudian Anjar sudah
siap dengan celana panjang dan kaos merah bergambar Ultramen. Ketika anjar
sedang sarapan dengan nasi goreng buatan ibu, bapak memasuki dapur sambil
membawa tas pinggang kecil lalu duduk di meja makan. Ibu dengan sigap
mengambilkan bapak nasi goreng dan menyajikan teh hangat.
“Anjar nanti di pasar harus selalu
di samping bapak ya. Jangan pergi jauh-jauh.”
Lagi-lagi anjar mengangguk dengan
semangat sambil tersenyum lebar. Akhirnya setelah berkali-kali membujuk ibu dan
bapak, ia diizinkan untuk menemani bapak berjualan kue di pasar.
“Nanti pulang dari pasar jangan lupa
cuci sepatu sekolah ya,” pesan ibu ketika mengantar mereka sampai pintu depan.
“Oke
bu, ” jawab Anjar sambil mengacungkan ibu jarinya.
Mereka
menuju pasar pagi dengan menggunakan becak yang dikendarai bapak. Pasar itu
penuh. Orang hilir mudik membawa barang belanjaan. Anjar selalu suka dengan
suasana ramai seperti ini. Bapak menyuruhnya membawa sebuah bakul kecil berisi kue-kue
basah yang akan mereka jual. Sepanjang jalan menuju kios mereka, Anjar selalu
berjalan di belakang bapak. Padatnya jalan mengharuskan mereka berjalan satu
banjar.
Bapak
menyempatkan diri menyapa para pedagang yang lain. Sejak masuk pasar, anjar menghitung
bapak sudah menyapa penjual ikan, penjual sayur dan juga penjual lontong.
Mereka semua tersenyum ramah padanya. Keadaan
yang seperti itu membuatny semakin senang menemani bapak berjualan.
Sampai
di kios, bapak langsung menyusun kue-kue yang mereka bawa. Belum selesai mereka
menyusun kue seorang pembeli yang sepertinya cukup akrab dengan bapak datang
menghampiri.
“Wah
Pak Im sekarang jualan sama anaknya ya. ” ujar bapak tadi dengan logat Jawa yang
kental.
“Iya
Pak Herman. Anjar minta ikut. Mau bantu bapaknya katanya,” balas bapak dengan
ramah.
“Hebat
anak-anak Pak Im. Anaknya berbakti semua,” pujinya tulus. “Saya pesan seperti
biasanya ya pak,” tambahnya sambil menunjuk kue-kue yang sudah kami susun.
Dengan
cepat bapak membungkus kue pesanan Pak Herman. Jumlahnya cukup banyak. Kata
bapak, itu memang sudah biasanya karena Pak Herman itu memiliki banyak anak.
***
Ketika
hari sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi, keadaan pasar malah semakin ramai.
Sepertinya beberapa pembeli sengaja bangun siang karena ini hari libur. Sambil
menunggu pembeli datang, Anjar mengedarkan pandangannya ke sekeliling pasar. Matanya
mencari makanan atau buah-buahan yang bisa ia beli. Biasanya bapak mau
membelikan jajanan sebagai hadiah atas sikap rajin Anjar.
Asyik
melihat-lihat, Anjar menangkap gerakan yang mencurigakan dari seorang laki-laki
yang berada tepat di belakang seorang ibu yang sedang melihat-lihat sayuran. ibu
tersebut meletakkan keranjang belanjaannya di tanah. Ia tidak menyadari bahwa ada
pria yang mengincar keranjangnya. Orang-orang di sekitarnya juga tidak
perhatian terhadap tingkah laku pria tadi. Pria itu sendiri tampak gelisah.
Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan seperti takut ketahuan orang. Anjar
terus mengawai gerak-gerik pria itu.
Saat
pria itu hendak memasukkan tangannya ke dalam keranjang, Anjar langsung
melompat dari kios dan berlari ke tempat penjual sayur tadi sambil berteriak
copet. Bapak yang kaget dengan tindakan Anjar langsung mengikutinya. Teriakan Anjar
rupanya didengar oleh beberapa di sekitar mereka termasuk ibu pemilik keranjang
tadi. Semua orang langsung memusatkan perhatiannya ke arah Anjar dan pria tadi.
Bapak
yang baru tiba di depan pria tadi segera memiting lengannya dengan kuat.
Orang-orang segera berkerumun dan hendak menghajar pria itu namun aksi tersebut
segera dicegah oleh petugas keamanan pasar yang kebetulan melintas. Lelaki itu terus
meronta berusaha meloloskan diri. Ia berteriak dan bersikeras bahwa ia bukan
copet. Ia hanya ingin mengambil barangnya di keranjang itu. Petugas keamanan
langsung menyuruh ibu tadi memeriksa barang-barang yang ada di dalam keranjang
apakah meamang ada barang pria itu yang masuk ke keranjangnya. Alangkah kagetnya
si ibu ketika mendapati bahwa ada sebungkus narkoba di dalam keranjang
belanjaanya.
Setelah
diusut ternyata pria itu adalah salah seorang pengedar narkoba yang barangnya
jatuh di keranjang si ibu. Pria itu langsung dibawa ke kantor polisi terdekat
untuk diproses. Sepeninggalan massa, Anjar mendapat ucapan selamat dari
orang-orang karena berkat dirinya seorang pengedar narkoba berhasil tertangkap.
Ibu tadi bahkan membelikan anjar banyak buah-buahan.
Anjar
merasa sangat senang. Bapak juga mengatakan kebanggaannya kepadanya. Hal ini
membuat Ia tak sabar ingin pulang ke rumah. Ia ingin bercerita dengan bangga kepada
ibu dan kakaknya tentang aksi heroiknya di pasar pagi.
Komentar
Posting Komentar