Cerita Kecil dari Sisa-sisa Masa Lalu
Darimu yang Pergi Meninggalkanku, Aku Belajar Melawan Rindu dan Memperbaiki Hidup
Hera Sujiman Gusmayanti
Bersamamu
memang mendatangkan sebuah bahagia, walau sebentar. Cinta yang begitu besar
pernah engkau berikan namun sayang hanya di awal. Darimu aku belajar untuk
tidak mematahkan hati orang lain seperti kau mematahkan hatiku. Darimu aku
berniat untuk tidak menumpahkan banyak air mata pada orang lain seperti kau
menumpahkan air mataku. Serta darimu aku belajar untuk tidak memberikan sebuah
mimpi yang kelak akan dihancurkan sendiri.
Awalnya
aku berpikir kau adalah pelabuhan terakhir. Seperti dermaga bagi kapal tua yang
tak akan pernah berlayar kembali. Kau datang menawarkan sebuah masa depan.
Dimana ada aku, kau serta anak-anak yang lucu. Mimpimu membuatku membayangkan
sebuah keluarga yang indah dan bahagia. Sampai aku lupa bagaimana rasanya
menjejak tanah. Aku bahkan lupa pada mimpiku sendiri. Tiba-tiba semua orientasi
hanya berpusat padamu. Tak ada niatku untuk mewujudkan mimpiku sendiri. Semua
mimpiku hanya tentangmu.
Dengan
berani aku merangkai mimpi-mimpi yang
ada kamu di dalamnya. Seperti yang pernah kau bagi padaku. Aku begitu percaya
pada mimpi indah yang kau yakinkan akan jadi nyata. Sikap membentengi diri dari
patah hati pun perlahan mulai aku abaikan. Tak ada antisipasi. Tak ada
prasangka bahwa suatu hari kau adalah orang yang akan membuat aku terluka untuk
pertama kalinya.
Bagiku
kau adalah lelaki yang berani. Berani berjanji. Berani menawarkan masa depan
dan satu hal yang aku ingat, kau berani membuatku patah hati. Tanpa sebuah
alasan pasti kau tiba-tiba memilih untuk pergi. Sekejap saja dan kau lupa bahwa
kau pernah mengiming-imingi sebuah pelaminan. Tak ada kata-kata perpisahan yang
berarti. Kau hanya mengatakan selamat tinggal tanpa sebuah penjelasan.
Setelah
itu duniaku gelap. Berminggu-minggu aku meratap. Menangis dalam kesendirian
menjadi teman akrab setelah kau tinggalkan. Seorang sahabat bertanya padaku, “Bagaimana
perasaanmu?” aku hanya bisa menjawab, “Hancur”. Yah! Hancur! Karena memang tak ada kata lain yang bisa
menggambarkan keadaan hatiku saat itu.
Patah
hati di usia 20-an adalah penderitaan. Menjalin hubungan denganmu di usia 20-an
membuat aku menyadari arti keseriusan. Aku mulai berpikir tentang hubungan yang
tidak main-main. Tidak ada sikap berlebihan layaknya remaja. Semua dijalani
dengan harapan bisa terus sampai jenjang pernikahan. Jadi ketika harapan tak
sesuai kenyataan, aku limbung. Hilang arah dan harapan. Bahkan enggan untuk
menjajal cinta yang baru.
Beberapa
hari setelah kau pergi, aku berharap keputusanmu hanya sementara. Aku masih
menunggu kau datang dan miminta maaf lalu mengajak untuk kembali membangun
mimpi. Aku bahkan meniatkan dalam hati untuk menerimamu kembali tanpa bertanya
apa alasanmu kembali. Bagiku saat itu hanya kau yang bisa kembali menerangi
duniaku yang gelap semenjak kau tinggalkan.
Sayangnya
hal itu tak pernah terjadi. Kau tetap menjalani hidupmu seolah-olah aku tak
pernah ada di dalamnya. Kau menjadi lupa bahwa ada aku yang kau tinggalkan
dalam keadaan hati berdarah. Saat aku merangkak melewati hari yang terasa
lambat berlalu, kau tampak bahagia dengan hidupmu yang tanpa aku. Setiap hari
aku asik menyiksa diri, mengumpulkan setiap ingatan bahagia ketika bersamamu. Dan kau pun malah asik mencari cinta yang
baru.
Terkadang
aku berpikir, tidakkah kau menyesal dengan keputusanmu? Kerena aku menyesal
tidak menahanmu pergi saat itu. Tidakkah kau merindukanku? Seperti aku yang
setiap hari sesak menahan rindu kepadamu. Diam-diam aku mengharapkan kau masih
menyimpan setiap kenangan yang kita lalui bersama seperti yang aku lakukan saat
ini.
Kemudian
aku tersadar bahwa itu tidak mungkin terjadi. Kau tidak akan pernah kembali. Seketika
aku mulai mengkaji ulang. Sikapmu menjelang perpisahan menjelaskan segalanya.
Kau muak bahkan untuk di sampingku berlama-lama. Berbicara denganmu tak
semenyenangkan biasanya. Sehingga aku tersentak oleh kenyataan, kau memang tak
ada niat untuk bersamaku lagi. Mimpi hidup bersamamu harus aku kubur
dalam-dalam. Bagimu aku adalah sejarah, masa lalu dan kau tak ingin menengok
lagi ke belakang. Sementara aku terpaku menatap punggungmu yang semakin jauh meninggalkan.
Lalu,
perlahan dengan sisa harga diri dan kepingan hati aku mulai berjalan.
Terseok-seok aku membangun mimpi yang pernah kau hancurkan. Aku menatanya sedemikian
rupa agar seindah sebelum kau datang. Mimpi yang tidak ada kamu di dalamnya. Kemudian,
aku lakukan berbagai usaha untuk mewujudkannya.
Aku
memulai dengan banyak bersyukur kepada Tuhan. Mengadu padanya dalam setiap
ibadah. Satu hal yang aku ingin kau tahu. Setelah semua luka berdarah dan air
mata yang berikan aku masih bisa berucap terima kasih. Terima kasih karena
telah pergi. Kepergianmu yang memberi luka membuat aku semakin dekat dengan
Penciptaku. Kepergianmu membuka mataku bahwa aku masih punya keluarga dan
sahabat yang selalu mendukung di saat-saat terberat.
Ketika
aku merasa tak pantas untuk siapa pun, mereka menguatkan aku bahwa aku terlalu
berharga untuk bersanding denganmu. Ketika aku berpikir bahwa tak ada cinta
yang baik untukku, mereka meyakinkan bahwa Tuhan terkadang mempertemukan kita
dengan orang yang salah sebelum kita bertemu dengan orang yang tepat. Kata
abangku, “Agar kita tahu perbedaannya”. Lagi-lagi kepergianmu memberikan
kesadaran, banyak orang yang menyayangiku melebihi sayang yang pernah kau
berikan dulu.
Sekali
lagi terima kasih karena telah pergi. Kepergianmu memang memberi luka namun tak
justru membuatku tidak pantas berbahagia. Kini aku lebih bisa merelakan.
Bersyukur kepada Sang Pencipta atas kepergianmu. Aku sudah bisa berdamai dengan
masa lalu. Memaafkan dirimu dan diriku sendiri. Menyadari bahwa kau bukan yang
terbaik untukku. Ada nyawa lain yang Tuhan siapkan untuk menjadi pendampingku. Semoga
aku lebih berbahagia dengan jalan yang aku pilih. Semoga sahabat, saudara atau
anak perempuanku kelak tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Semoga.
Komentar
Posting Komentar