Akal Cerdik Si Nenek Rubah
Oleh Hera Gusmayanti
Nenek Rubah berjalan sendiri menuju pasar. Tangannya menenteng sekeranjang roti yang nantinya akan ditukarkan dengan beberapa ekor ikan segar. Jarak gubuknya dengan pasar sangat jauh. Ia  harus menyebrangi sungai kecil dan berjalan selama dua jam. Perjalanan ini memang sangat melelahkan bagi wanita tua sepertinya. Meskipun begitu ia tetap menapaki jalan berbatu menuju tepian sungai kecil.
Tanpa menghiraukan matahari yang semakin meninggi, nenek rubah berjalan tertatih-tatih sambil mengelap keringatnya. Air sungai saat ini tidak terlalu dalam dan arusnya juga tenang. Ketika hendak menyebrangi sungai ia melihat Pak Kera datang dari arah berlawanan. Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya gemetar seperti ketakutan. Penasaran dengan sikap Pak Kera, ia pun bertanya.
“Kau sepertinya tampak ketakutan Pak Kera? Ada apakah gerangan?” tanya Nenek Rubah.
“Semua kelapa yang akan aku jual ke pasar habis dirampas oleh kawanan perampok berjubah hitam Nek,” jawab Pak Kera semakin sedih.
“Bagaiman mungkin ada perampok di kerajaan ini Pak Kera! Kerajaan kita adalah kerajaan yang aman,” sanggah Nenek Rubah tak percaya.
“Benar Nek, aku tak bohong. Jika nenek memang ingin ke pasar lebih baik nenek membatalkan niat nenek itu daripada roti nenek habis dirampas,” nasehat Pak Kera dengan sungguh-sungguh sambil berlalu.
Nenek Rubah mulai cemas dengan cerita yang dibawa oleh Pak Kera. Namun ia tak bisa pulang begitu saja. Suaminya, Kakek Rubah membutuhkan ikan agar kesehatannya cepat pulih. Dengan sedikit gamang, ia turun menyebrangi sungai yang tinggi airnya hanya sepergelangan kaki.
Setelah menyebrangi sungai, Nenek Rubah masih harus melewati hutan pinus dan hutan beringin sebelum sampai ke pasar. Di hutan pinus samar-samar ia mendengar suara orang menangis. Nenek rubah menjadi takut. Sebab saat ini tidak ada siapa pun selain dirinya. Lalu ia mengikuti suara tangisan itu. Ternyata suara itu berasal dari balik pohon pinus paling besar. Di situ ia melihat Ayi si tupai bersama dua orang adiknya sedang menangis tersedu-sedu. Melihat mereka menangis, ia merasa kasihan dan bertanya sebab mereka menangis.
“Apel-apel...yang...kami...beli...di pasar...habis...dirampok.....oleh... kawanan... penjahat....berjubah hitam di hutan jati, Nek. Hikss..Huhuhu...” Ayi menjelaskan sambil terisak. “Padahal apel itu akan kami buat selai untuk pesta ulang tahun ibu. Hikss..hikss,” sambungnya.
“sabar Ayi. Ini sebagai gantinya ambil saja roti nenek untuk kau bawa pulang,” tawar Nenek Rubah.
“Tidak usah Nek. Nenek mau kemana?” tanya Ayi.
“ke pasar.”
“Sebaiknya tidak usah, Nek. Roti nenek nantinya akan dirampas oleh mereka,” ucap adik Ayi.
“Tapi nenek harus ke pasar,” Nenek Rubah bersikeras.
“Kalau begitu hati-hati, Nek. Kami hanya bisa mendoakan.” Sambung adik Ayi yang lain.
Nenek Rubah mengangguk dan segera pamit dengan kelompok Ayi si tupai. Sebenarnya Nenek Rubah sudah sangat ketakutan. Ia hanyalah seorang wanita tua yang lemah. Jika Pak Kera dan Ayi si tupai saja tidak bisa menghadapi perampok itu konon pula dirinya. Ia mulai memutar otak. Di perbatasan hutan pinus dan beringin ia berhenti untuk beristirahat sekaligus memikirkan cara lolos dari todongan kawanan perampok.
Setengah jam duduk berpikir, Nenek Rubah tak jua menemukan ide. Kemudian ia mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan. Tiba-tiba ia melihat sebuah bekas cakaran di batang pinus. Melihat itu muncullah ide untuk mengelabui para perampok. Segera ia melanjutkan perjalanannya memasuki hutan beringin.
Seperti yang diceritakan oleh Pak Kera dan Ayi si tupai tadi, Nenek Rubah segera saja dihadang begitu ia tiba di tengah-tengah hutan beringin. Sekawanan perampok itu muncul dari balik batang beringin. Mereka berjumlah lima orang dan memakai jubah berwarna hitam. Jubah itu menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah. Hanya mata mereka saja yang tidak ditutup. Badan mereka juga tinggi besar. Nenek Rubah sempat kaget dan gentar dengan kemunculan mereka namun demi Kakek Rubah ketakutan itu sirna. Dengan tenang ia menghadapi sekawanan perampok. Mereka langsung saja meminta dengan kasar barang berharga miliknya. Salah satu dari mereka menarik keranjang roti yang ditutupinya dengan kain merah. Namun ia segera menarik kembali keranjang itu dan berkata dengan tenang.
“Aku merasa kasihan jika kalian hanya merampok sekeranjang roti dari orang tua sepertiku.”
Dengan mengeryitkan kening selah seorang yang berbadan paling besar diantara mereka bertanya, “Mengapa demikian wahai nenek tua?”
“kalian bisa mendapatkan barang yang lbih berharga dari roti ini. Aku adalah penduduk asli di sini. Aku tahu dimana para orang kaya menyembunyikan emas-emasnya,” jawabnya.
“Dimana?” tanya yang lain tidak sabar.
“Tidak jauh dari sini. Hanya sepuluh menit berjalan.”
“Tunggu sebentar,” ucap salah satu kawanan yang ia duga sebagai pemimpin komplotan. Mereka kemudian sedikit menjauh dari Nenek Rubah. Ia menduga mereka sedang berunding. Tak berapa lama mereka kembali. “Hai nenek tua, antarkan kami ke sana! Sekarang!”
“Apa imbalannya untukku?” tanya Nenek Rubah dengan gaya pongah.
“Kami akan melepaskanmu jika kau mau mengantar kami.”
Setelah mereka sepakat, Nenek Rubah memimpin mereka ke arah utara hutan beringin. Sepuluh menit berjalan kaki, mereka berhenti agak jauh dari sebuah gubuk yang nampak tak berpenghuni.
“Di sana biasanya orang paling kaya di kerajaan ini menyimpan seluruh emasnya,” ujar Nenek Rubah.
“Kenapa seperti tidak berpenghuni. Gubuknya reyot tak terawat. Tidak mungkin ada emas di dalamnya,” ucap salah satu dari mereka dengan curiga.
“Itu supaya orang-orang tidak curiga,” nenek rubah meyakinkan.
“Benar juga. Baiklah mari kita ke sana sekarang,” ajak yang lain dengan semangat.
“Sabar sebentar. Ada peraturan yang harus kalian ingat. Kalian harus masuk lewat jendela karena pintunya terkunci. Lalu begitu masuk kalian harus memukul-mukul setiap peti untuk memastikan apakah peti itu berisi atau tidak.”
“Baiklah nenek tua. Kau boleh pergi sekarang.”
Nenek Rubah langsung melangkah pergi. Sementara kawanan tadi bergegas memasuki gubuk tersebut. Ketika mereka memukul peti-peti yang ada dengan tongkat tiba-tiba geraman kasar beruang yang sedang marah terdengar dari belakang mereka. Ternyata gubuk tersebut adalah milik seekor beruang pemarah yang sedang tidur. Wajah beruang itu sangat menakutkan karena suara berisik telah mengganggu tidurmya. Melihat itu langung saja kawanan tersebut tunggang langgang mencari jalan keluar.
            Dari kejauhan Nenek Rubah mendengar teriakan minta tolong disertai suara hantaman dan jerit kesakitan. Mungkin mereka sedang dihajar oleh beruang pemarah itu. Batin Nenek Rubah geli. Kemudian ia melanjutkan langkah tuanya menuju pasar.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Plesir